Arti Wuduk
Arti Wuduk (وُضُوْءٌ) menurut bahasa adalah (اَلْحَسَنُ وَالنَّظَافَةُ) “Indah dan bersih”. Kata “Waduk” (وَضُوْءٌ)(dengan huruf Wau berharakat [A] Fathah) adalah air yang dipergunakan untuk berwuduk. Sedangkan Wuduk (وُضُوْءٌ) (dengan huruf Wau berharakat [U] dammah) berarti mengambil air wuduk. Dan arti terakhir inilah yang akan kita bahas dalam bab ini.
Wuduk menurut istilaha syara’ adalah menggunakan air untuk anggota-anggota badan tertentu, dengan cara tertentu yang dimulai dengan niat tertentu.
Perintah Berwuduk
Perintah berwuduk bersamaan dengan perintah menegakkan ibadah salat[1] yaitu satu setengah tahun sebelum tahun Hijrah[2]. Dan dalil perintah wuduk adalah firman Allah :
يَآءَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْآ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ... ألآية (المائدة :6)
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki … (QS. Al-Maidah [5] : 6)
Perintah berwuduk dalam surat Al-Maiah ayat 6 di atas adalah perintah “wajib” dan kewajibannya dipertegas oleh hadis Nabi :
عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ اَنَّهُ سَمِعَ اَبَا هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ مَنْ اَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ (رواه البخاري – المجلد 1 صحيفة : 43 في كتاب الوضوء)
Dari Hammam bin Munabbih, bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata : Rasulullah saw, bersabda : Allah tidak menerima salat orang yang hadas hingga ia berwuduk (HR. Bukhari – Jilid 1 halam 43 kitab Wuduk) [3].
Orang Yang Wajib Berwuduk.
1. Orang yang hendak menegakkan “salat” adalah “wajib berwuduk”, baik salat fardu maupun sunah, berdasarkan surat Al-Maidah ayat 6. Hadis Nabi :
عَنْ اَبِيْ هُرَ يْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ، وَ لاَ َُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ (رواه ابن ماجه : 399)
Dari Abu Hurairah ia berkata : Rasulullah aw, bersabda : Tidak ada salat yang sah bagi orang yang tidak ada wuduk, dan tidak ada wuduk yang sempurna bagi orang yang tidak menyebut nama Allah. (HR. Ibnu Majah : 399)
2. Orang yang hendak mengerjakan “thawaf” adalah “wajib berwuduk”, baik thawaf fardu maupun sunah. Hadis Nabi :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اَلطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ وَلَكِنَّ اللهَ اَحَلَّ فِيْهِ الْمَنْطِقَ فَمَنْ نَطَقَ فَلاَ يَنْطِقُ اِلاَّ بِخَيْرٍ (رواه البيهقي : 9304)
Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah saw bersabda : Thawaf di Baitullah adalah salat. Namun, Allah halalkan berbicara dalam thawaf. Maka barangsiapa berbicara dalam thawaf itu, hendaklah tidak berbicara melainkan yang baik. (HR. Baihaqi : 9304)
عَنْ عُرْوَةَ قَالَ : قَدْ حَجَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَخْبَرَتْنِيْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا اَنَّ اَوَّلَ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ حِيْنَ قَدِمَ اِلَى مَكَّةَ أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثُمَّ طَافَ بِالْبَيْتِ (رواه البيهقي : 9300)
Dari Urwah ia berkata : Rasulullah saw melaksanakan ibadah hajji, lalu Aisyah ra bercerita kepadaku : Bahwa sesungguhnya yang pertama kali beliau kerjakan ketika datang ke Makkah adalah berwuduk (terlebih dahulu) baru kemudian berthawaf di Baitullah. (HR. Baihaqi : 9300)
3. Orang yang hendak melakukan sujud “Tilawah” adalah “wajib berwuduk” menurut empat mazhab, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Mereka berpendapat, bahwa segala sesuatu yang menjadi syarat sahnya salat, juga menjadi syarat sahnya sujud Tilawah.[4]
4. Orang yang hendak menyentuh, memegang atau membawa “Mushhaf” (Al-Qur’an) adalah “wajib berwuduk”, berdasarkan firman Allah :
لاَ يَمَسُّهُ اِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنَ (الواقعة : 79)
Tidak menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali orang-orang yang suci.(QS. Al-Waqi’ah [56] :79)
Maksud ayat 79 surat Al-Waqi’ah
1) Al-Qur’an yang dimaksudkan dalam ayat 79 surat Al-Waqi’ah adalah “Mushhaf” yang ada di bumi ini, bukan yang di “Lauhul Mahfuzh”, karena Al-Qur’an telah diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Dan beliau telah menyampaikan kepada umatnya. Firman Allah :
وَاِنَّهُوْ لَتَنْزِيْلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ اْلأَمِيْنُ.عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُوْنَ مِنَ الْمُنْذِرِيْنَ. بِلِسَانٍ عَرَبِيٍِّ مُبِيْنٍ. وَاِنَّهُوْ لَفِيْ زُبُرِ اْلأَوَّلِيْنَ (الشعراء : 192-196)
“Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta Alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. Dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar (tersebut) dalam kitab-kitab orang yang dahulu”. (QS. Asy-Syua’araa [26] : 193-196)
Perlu diketahui, bahwa ayat-ayat Al-Qur’an satu dengan yang lainnya saling tafsir menafsirkan. Dan sangat banyak kalimat “Al-Qur’an” yang maksudnya adalah Al-Qur’an yang ada di dunia ini, bukan yang tertulis di “Lauhul Mahfuzh, antara lain :
وَاُوْحِيَ اِلَيَّ هَذَا الْقُرْءَانُ ِلأُنْذِرَكُمْ بِهِى وَمَنْ بَلَغَ (الأنعام : 19)
Dan Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qura’n (kepadanya). (QS.Al-An’am [6] :” 19)
اَفَلاَ يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا (النساء : 82)
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? kalau kiranya Al-Qura’n itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. An-Nisaa [4] : 82)
2) Dalil lain bahwa Al-Qur’an yang dimaksudkan dalam Ayat 79 surat Al-Waqi’ah adalah “Mushhaf”, yaitu Rasulullah melarang umatnya membawa Al-Qur’an ke negeri musuh. Seandainya yang dimaksudkan adalah Al-Qur’an yang di “Lauhul Mahfuzh, tentu beliau tidak perlu melarangnya, karena tidak mungkin dibawa oleh manusia. Rasulullah bersabda :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ يُسَافِرَ بِالْقُرْآنِ اِلَى اَرْضِ الْعَدُوِّ ( رواه البيهقي : 18239)
Dari Abdullah bin Umar ra ia berkata : Rasulullah saw melarang bepergian membawa Al-Qur’an ke negeri musuh. (HR. Baihaqi : 18239)
3) Ayat 79 surat Al-Waqi’ah adalah kalam khabari (kalimat berita) yang bermakna “Nahi” (larangan),[5] yaitu Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang-orang yang suci. Dan yang dimaksud dengan “orang yang suci” adalah orang Yang suci dari hadas. Rasulullah bersabda :
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ اَبِيْ بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أَنَّ الْكِتَابَ الَّذِيْ كَتَبَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ : اَنْ لاَ يَمَسَّ الْقرْآنَ اِلاَّ طَاهِرٌ) رواه ابو داود فى المراسل : 96(
Dari Abdullah bin Abi Bakr bin Muhammad bin Amr bin hazm : Bahwa sesungguhnya surat yang ditulis Rasulullah saw, buat Amr bin Hazm isinya adalah : Hendaklah tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci. (HR. Daud Fil-Marasil : 96)
Hadis ini bukan hanya diriwayatkan oleh Abu Daud, tetapi juga oleh Imam Malik, Nasa-i, Baihaqi, Daruquthni dll[6] sehingga derajat hadis ini menurut Imam Ibnu Abdul Birri sudah serupa dengan hadis mutawatir.[7] Semua hadis Mutawatir adalah hadis yang berderajat shahih, karena itu hadis mutawatir adalah hadis maqbul (diterima sebagai dalil).[8]
Pendapat Empat Mazhab
Mazhab imam yang empat, yaitu Maliki, Hambali, Hanafi dan Syafi’i bersepakat, bahwa orang yang hendak menyentuh, memegang atau membawa “Mushhaf” (Al-Qur’an) adalah “wajib berwuduk”.[9] Namun dalam keadaan tertentu dibolehkan tanpa wuduk dengan syarat :
1. Mazhab Imam Malik berpendapat : Boleh menyentuh Mushaf (Al-Qur’an) tanpa wuduk, baik seluruhnya atau sebagiannya dengan syarat :
1) Mushaf (Al-Qur’an) tertulis dengan selain bahasa Arab.
2) Ayat Al-Qur’an tertulis pada mata uang yang masih berlaku, karena menghindari kesulitan.
3) Untuk menjaga atau memelihara kesucian Al-Qur’an.
4) Untuk belajar atau mengajar Al-Qur’an.[10]
2. Mazhab Imam Ahmad bin Hambal berpendapat : Boleh membawa atau menyentuh Mushaf (Al-Qur’an) tanpa wuduk dengan syarat :
1) Mushaf (Al-Qur’an) diletakkan dalam bungkusan yang munfashil, artinya sarung pembungkusnya tidak termasuk bagian dari Al-Qur’an, seperti tas, kantung dan lain sebagainya.
2) Anak yang belum mukallaf (belum baligh).[11]
3. Mazhab Imam Abu Hanifah berpendapat : Boleh menyentuh Mushaf (Al-Qur’an) atau tulisan ayat-ayatnya tanpa wuduk, baik seluruhnya atau sebagiannya dengan syarat :
1) Dalam keadaan terpaksa, umpama khawatir Al-Qur’an itu tenggalam atau terhanyut oleh arus air, atau khawatir terbakar oleh api, maka pada waktu itu boleh menyentuhnya atau memegangnya tanpa wuduk karena untuk menyelamatkannya.
2) Mushaf (Al-Qur’an) diletakkan dalam bungkusan yang munfashil, artinya sarung pembungkusnya tidak termasuk bagian dari Al-Qur’an, seperti tas, kantung dan lain sebagainya.
3) Anak yang belum baligh dalam rangka untuk belajar, karena menghindari kesulitan.
4) Muslim, orang yang bergama islam. [12]
4. Mazhab Imam syafi’i berpendapat : Boleh menyentuh atau membawa Mushaf (Al-Qur’an) tanpa wuduk, baik seluruhnya atau sebagiannya dengan syarat :
1) Membawa Al-Qur’an untuk menjaga atau memelihara kesuciannya.
2) Ayat Al-Qur’an tertulis pada mata uang.
3) Ayat Al-Qur’an tertulis pada buku ilmu pengetahuan, baik ayat itu sedikit atau banyak. Adapun ayat Al-Qur’an yang terdapat dalam buku tafsir, boleh menyentuhnya dengan syarat tafsirnya lebih banyak dari pada ayatnya.
4) Ayat Al-Qur’an tertulis pada pakaian atau kain, seperti sulaman atau bordiran yang terdapat pada kelambu Ka’bah dan lain sebagaiya.
5) Menyentuh Mushaf (Al-Qur’an) untuk belajar atau mengajar. [13]
Mazhab Imam Daud Azh-zhahiri
Mazhab Imam Daud Azh-zhahiri atau disebut “Ahluzh-zhahir” (golongan yang dalam memahami Nash hanya melihat kepada zahirnya saja). Mereka berpendapat, bahwa “bersuci tidak menjadi syarat” bolehnya menyentuh, memegang atau membawa Mushhaf (Al-Qur’an). Dengan kata lain : Boleh menyentuh, memegang atau membawa Mushhaf (Al-Qur’an) tanpa wuduk, sebab tidak terdapat dalil, baik dari Al-Qur’an maupun sunah yang mewajibkan berwuduk,[14] dengan alasan :
1. Ayat 79 surat Al-Waqi’ah adalah kalimat berita (Kalam Khabari), yang mengabarkan, bahwa Al-Qur’an tidak dapat disentuh kecuali oleh orang-orang yang disucikan, yaitu para malaikat. Jadi, sama sekali tidak ada hubungan dengan larangan atau perintah.
2. Kata “Al-Qur’an” menurut mereka adalah “Kitab yang terpelihara di Lauhul Mahfuzh”, berdasarkan ayat 78 surat Al-Waqi’ah yang artinya : “Pada kitab yang terpelihara”
3. Makana “Muthahharuun” dalam Ayat 79 surat Al-Waqi’ah adalah orang-orang yang disucikan, yaitu “para malaikat” yang suci dari dosa.
4. Mereka menolak hadis untuk Amr bin Hazm, yang isinya : “Hendaklah tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”.
SYARAT WUDUK
Syarat wuduk adalah sesuatu yang mesti ada dan dipenuhi sebelum berwuduk. Syarat wuduk terbagi menjadi tiga bagian yaitu : 1. Syarat Wajib Wuduk, 2.Syarat Sah Wuduk, dan 3. Syarat Wajib dan Sah Wuduk, dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Syarat Wajib Wuduk
Syarat wajib wuduk adalah sesuatu yang menjadi sebab seseorang itu wajib berwuduk. Dan sesuatu itu mesti ada dan dipenuhi sebelum berwuduk. Ketika sesuatu (syarat) itu tidak ada, maka tidaklah wajib berwuduk. Syarat wajib wuduk adalah :
1. Baligh, yaitu orang yang sudah sampai usia dewasa, sehingga disebut sebagai orang yang sudah “Mukallaf”. Mukallaf adalah orang yang sudah diberati atau dibebani tanggung jawab untuk menjalankan hukum syara’. Firman Allah :
وَاِذَا بَلَغَ اْلأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوْا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ (النور : 59)
Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin (untuk masuk ke rumahmu), seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.[15] (QS. An-Nur [24] :59)
وَابْتَلُوْا الْيَتَامى حَتّى اِذَا بَلَغُوْا النِّكَاحِ فَاِنْ ءَانَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْآ اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ (النساء : 6)
Dan ujilah[16]anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (QS. An-Nisa’ [4] : 6)
Usia Baligh
Pertumbuhan seorang anak berbeda-beda, sehingga masa baligh-pun dapat berbeda. Untuk itu Rasulullah berpesan agar sejak umur 7 tahun anak sudah dibina dan dibiasakan serta disuruh mengerjakan salat sebagai pendidikan, dan pada saat sudah mencapai umur 10 tahun, anak diberi dorongan yang lebih kuat agar dapat menegakkan ibadah salat dengan sebaik-baiknya. Rasulullah bersabda :
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مُرُوْا اَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ اَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ اَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ (رواه ابو داود : 495)
Dari ‘Amer bin Syu’aib dari ayahnya diterima dari kakeknya ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : Suruhlah anak-anakmu mengerjakan salat ketika mereka telah berumur 7 tahun, pukullah (gerakkanlah)[17] mereka untuk mengerjakan salat ketika mereka telah berumur 10 tahun, dan pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka. (HR. Abu Daud : 495)
Imam Syafi’i menetapkan usia baligh bagi laki-laki dan wanita yang tidak mimpi bersetubuh adalah 15 tahun.[18] Hadis Nabi :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : عُرِضْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ اُحُدٍ وَ اَنَا ابْنُ اَرْبَعَ عَشَرَ سَنَةً فَاسْتَصْغَرَنِيْ وَعُرِضْتُ عَلَيْهِ يَوْمَ الْخَنْدَقِ وَ اَنَا ابْنُ خَمْسََ عَشَرَةَ فَاَجَازَنِيْ (رواه البيهقي : 5088- ورواه مسلم فى الصحيح عن عبد الله ابن شيبة، واخرجه البخاري من وجه آخر عن عبيد الله بن عمر)
Dari Ibnu Umar ia berkata : Aku pernah dihadapkan kepada Nabi saw (untuk ikut berperang) pada waktu perang Uhud sedang aku pada waktu itu baru berusia 14 tahun, maka beliau mengnggap aku masih anak-anak (untuk itu beliau menolaknya). Kemudian aku dihadapkan kembali kepada beliau (untuk ikut berperang) pada perang Khandaq sedangkan aku pada waktu itu telah berusia 15 tahun, maka beliau membolehkan aku. (HR. Baihaqi : 5088,- Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Abdullah bin Syaibah, dan Imam Bukhari meriwayatkan dari jalan lain, yaitu dari Ubaidillah bin Umar)
Ciri-Ciri Baligh :
Umur tidak dapat dijadikan ukuran usia baligh secara mutlak, karena pertumbuhan anak berbeda-beda. Untuk itu perlu mengetahui Ciri-ciri baligh sebagai berikut :
1) Telah mimpi bersetubuh, baik laki-laki maupun perempuan. Rasulullah bersabda :
عَنْ عَلِيٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ : عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَ عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ (رواه ابو د اود : 4403 – البيهقي : 5089)
Dari Ali diterima dari Nabi saw, beliau bersabda : Ada tiga golongan yang dihilangkan tulisannya (terlepas dari tuntutan hukum), yaitu orang tidur hingga ia bangun, kanak-kanak hingga ia mimpi bersetubuh dan orang gila hingga ia berakal (sembuh). (HR. Abu Daud : 4403, dan Baihaqi : 5089)
َ
عن ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : اِذَا بَلَغَ الصَّبِيُّ عَشْرَ سِنِيْنَ كُتِبَتْ لَهُ الْحَسَنَاتُ وَلاَتُْكَتْب عَلَيْهِ السَّيِّئَاتِ حَتَّى يَحْتَلِمَ
Dari Ibnu Mas’ud ra : Apabila seorang anak telah berusia 10 tahun, maka dicatatlah kebaikan-kebaikannya sebagai pahala baginya, dan tidaklah dicatat keburukan-keburukannya sebagai dosa atasnya hingga ia mimpi bersetubuh. (Tifsir Al-Kabir jilid 8 halaman 418)[19]
2) Telah haid bagi wanita. Waktu datangnya haid antara anak-anak berbeda-beda. Ada yang berusia 9 tahun sudah haid[20] dan ada pula yang sudah berusia 10 tahun, bahkan sampai belasan tahun baru haid. Wanita yang sudah haid berarti telah baligh, dan disebut sebagai orang yang sudah “Mukallaf”. Rasulullah bersabda :
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ الْحَائِضِ اِلاَّ بِخِمَارٍ (رواه البيهقي : 5090) قال ابن ابي عاصم اراد بالحيض البلوغ
Dari Aisyah, bahwasanya Nabi saw bersabda : Allah tidak menerima salat seorang perempuan yang haid (baligh) kecuali dengan memakai tutup kepala (HR. Baihaqi : 5090).
Menurut Ibnu Abi Ashim, yang dimaksudkan dengan “Haid” dalam hadis ini adalah “Baligh”.[21] Karena sudah baligh, maka ia wajib berwuduk ketika hendak mengerjakan salat, atau ibadah lainnya yang wuduk merupakan syarat sahnya. Ketika mengerjakan salat, ia wajib menutup kepala sebagai salah contoh kewajiban yang mesti dilaksanakan oleh wanita yang sudah “Mukallaf”.
3) Keluar mani bagi laki-laki, baik karena bermimpi atau karena mamandang lawan jenisnya. Ada anak yang mimpi pada saat berusia 12 tahun dan ada pula yang sebelum atau sesudah 12 tahun. Anak laki-laki yang sudah keluar mani berarti ia telah baligh, dan disebut sebagai orang yang sudah “Mukallaf”. Rasulullah bersabda :
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ : سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمَذِيِّ فَقَالَ فِيْهِ الْوُضُوْءُ وَفِى الْمَنِيِّ الْغُسْلُ (رواه ابن ماجه : 504)
Dari ‘Ali ia berkata : Rasulullah saw. ditanya tentang orang yang keluar madzi. Beliau menjawab : Dalam hal keluar madzi cukuplah berwudu’ dan keluar mani wajiblah mandi. (HR.Ibnu Majah : 504)
Anak laki-laki yang sudah keluar mani, ia sudah masuk usia baligh, sehingga ia wajib berwuduk ketika hendak mengerjakan salat, atau ibadah lainnya yang wuduk merupakan syarat sahnya. Ketika keluar mani, ia diperintah mandi wajib sebagai pelaksanaan terhadap tuntutan hukum syara’ yang mesti dilaksanakan oleh orang yang sudah “Mukallaf”.
Wuduk orang yang belum baligh adalah sah. Umpama berwuduk satu jam sebelum baligh, kemudian datang masa baligh pada jam berikutnya, lalu mengerjakan salat, maka salatnya sah dengan wuduk yang dilakukan sebelum baligh itu. Walaupun hal ini jarang terjadi, namun penting diketahui, terutama bagi orang musafir atau yang sedang berada di padang pasir yang sulit mendapatkan air.[22]
2. Masuk waktu salat. Ketika waktu salat telah masuk, kita wajib berwuduk karena ia merupakan syarat sahnya salat. Salat itu wajib, maka sarananya pun menjadi wajib, yaitu wuduk. Salat tidak sah tanpa wuduk. Hal ini sejalan dengan kaidah ushul fiqh :
اَلأَمْرُ بِالشَّيْئِ اَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
Perintah mengerjakan sesuatu berarti juga perintah mengerjakan sarananya.
Masuk waktu salat adalah syarat wajib wuduk, bukan syarat sah wuduk. Untuk itu, berwuduk sebelum masuk waktunya adalah sah, kecuali bagi orang yang ada uzur. Adapun bagi orang yang ada uzur (aral atau halangan), seperti “terus menerus keluar kencing”, maka wuduknya tidak sah kecuali setelah masuk waktu. Demikianlah pendapat mazhab imam Syafi’i dan Hambali.[23]
Adapun pendapat mazhab imam Maliki dan Abu Hanifah bagi orang yang ada uzur, seperti “terus menerus keluar kencing” adalah sebagai berikut :
1) Mazhab Imam Maliki : Wuduk sebelum atau sesudah masuk waktu adalah sah bagi orang yang ada uzur. [24]
2) Mazhab Imam Abu Hanifah : Wuduk sebelum masuk waktu adalah sah bagi orang yang ada uzur. Umpama ia berwuduk sebelum masuk waktu zuhur, kemudian waktu zuhur masuk, maka wuduknya tidak batal dan boleh mengerjakan salat dengan wuduk itu. Dan bila waktu zuhur sudah habis, maka wuduknya berakhir bersamaan dengan berakhirnya waktu zuhur. Dan untuk mengerjakan salat Ashar, ia wajib dengan wuduk yang baru. [25]
3. Mampu berwuduk. Tidak wajib berwuduk bagi orang yang tidak mampu berwuduk, seperti orang sakit yang tidak dapat menggunakan air. (Akan dibahas kemudian dalam masalah “Tayammum”)
2.Syarat Sah Wuduk
Syarat sah wuduk adalah sesuatu yang mesti ada dan dipenuhi sebelum berwuduk, yang menjadi sebab wuduk seseorang itu sah. Dan ketika syarat itu tidak ada, maka wuduknya tidak sah, yaitu :
1. Menggunakan air yang suci dan menyucikan. (Baca kembali bahasan sebelumnya tentang air sebagai alat bersuci)
2. Mumayyiz, yaitu orang yang berwuduk sudah pandai membedakan sesuatu yang bermanfaat dan madarat. [26]
3. Tidak ada sesuatu yang menghalangi sampainya air ke anggota wuduk, seperti cat, lem getah dll.
4. Tidak terdapat sesuatu yang merusak atau menghilangkan waduk, seperti haid, nifas dll.
5. Mengetahui cara-cara berwuduk.
4. Syarat Wajib Dan Syarat Sah Wuduk
Bergabung antara dua syarat, yaitu syarat wajib dan syarat sah wuduk. Dan ketika syarat ini tidak ada, maka tidaklah wajib berwuduk dan kalau berwuduk, maka wuduknya tidak sah, yaitu :
1. Islam. Orang yang beragama Islam wajib berwuduk. Sedangkan orang kafir tidak wajib berwuduk, dan kalau berwuduk, maka wuduknya tidak sah. Namun secara umum, seluruh umat manusia diperintah beribadah kepada Allah, termasuk orang kafir, sehingga ia disiksa karena meninggalkannya.[27] Firman Allah :
يَآءَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ (البقرة : 21)
Hai manusia, beribadahlah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, (QS.Al-Baqarah [2] : 21)
Akan tetapi, segala amalan orang-orang kafir tidak diterima oleh Allah karena tidak didasarkan atas iman, sehingga di akhirat tidak mendapatkan balasan walaupun di dunia mereka mengira akan mendapatkan balasan atas amalannya itu. Firman Allah :
وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْآ اَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيْعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْئَانُ مَآءً حَتَّى اِذَا جَائَهُوْ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللهَ عِنْدَهُوْ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُوْقليوَاللهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ (النور : 39)
Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. (QS.An-Nuur [24] : 39)
Terjadi Khilaf
1) Mazhab Imam Malik berpendapat, bahwa “Islam” adalah sebagai “syarat sah” saja. Orang kafir diperintah beribadah, dan disiksa karena meninggalkannya. Akan tetapi ibadahnya tidak sah kecuali setelah Islam, karena sahnya ibadah tergantung kepada niat, sedangkan syarat sahnya niat adalah islam.[28]
2) Mazhab Imam Hanafi berpendapat, bahwa “Islam” adalah sebagai “syarat wajib” saja, bukan syarat “wajib dan sah secara berbarengan”. Orang kafir tidak diperintah beribadah, sehingga “Islam” tidak dipandang sebagai syarat sah. Menurut mereka, wuduk tidak menunggu adanya niat, karena niat bukan fardu wuduk. Berbeda dengan “tayammum” yang sahnya tergantung kepada niat, sebab niat termasuk fardu Tayammum.[29] (Akan dibahas kemudian secara khusus dalam masalah Tayammum)
2. Berakal. Orang yang tidak berakal sehat tidak wajib berwuduk dan tidak sah wuduknya, seperti orang gila, sakit ayan dan lain sebagainya. Berdasarkan hadis Nabi, yaitu HR. Abu Daud : 4403, dan Baihaqi : 5089 di atas.
3. Bersih dari darah haid dan nifas khusu bagi wanita. Orang yang sedang haid atau nifas tidak wajib berwuduk dan kalau berwuduk, maka wuduknya juga tidak sah.
4. Tidak tidur dan lupa. Orang yang tidur atau tidak sadar, tidak wajib berwuduk dan tidak sah wuduknya.[30] Berdasarkan hadis Nabi, yaitu HR. Abu Daud : 4403, dan Baihaqi : 5089 di atas.
5. Da’wah islam sudah sampai. Orang yang belum menerima da’wah islamiyah, tidak wajib berwuduk dan tidak sah wuduknya.
Fardu Wuduk
Berdasarkan ayat 6 surat Al-Maidah, maka fardu wuduk yang wajib bagi orang yang berwuduk adalah, 1. membasuh muka, 2. membasuh kedua tangan sampai kedua siku, 3. mengusap kepala, 4. membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki. Ini dilakukan dengan tertib atau berurutan, serta di dahului dengan niat.
Sunah Wuduk
Hal-Hal Yang Membatalkan Wuduk
Hal-Hal Yang Dilarang Bagi Yang tidak Berwuduk
MEMBACA BASMALAH
عَنْ اَبِيْ سَعِيْدٍ اَنَّ النَّبِيَّ e قَالَ : لاَ وَضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ {رواه ابن ماجه : 397}
Dari Abu Sa'id, bahwasanya Nabi saw, bersabda : Tidak (sempurna) wuduk bagi orang yang tidak menyebut nama Allah. (HR. Ibnu Majah : 397)
NIAT
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ e : اِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَ اِنَّمَا لاِامْرِئٍ مَانَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا اَوِامْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ اِلَى مَاهَاجَرَ اِلَيْهِ {رواه النسائي}
Dari Umar bin Khattab ra. ia berkata : Rasulullah saw. telah bersabda : Sesungguhnya (sahnya) amal-amal itu tergantung dengan niat,[31] dan bagi setiap orang ada balasan seperti apa yang ia niatkan, barangsiapa yang hijrahnya (berniat) menuju kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu (akan sampai) kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya (berniat) untuk mendapatkan dunia, maka ia akan mendapatkan dunia, atau hijrahnya (berniat) untuk mendapatkan seorang wanita, maka ia akan dapat menikahi wanita itu, hijrahnya seseorang akan mendapatkan balasan sesuai niatnya ia berhijrah. (HR.An-Nasa’i) [32]
AYAT AL-QUR'AN
!$
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[33], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah [98] : 5)
CARA WUDUK RASULULLAH
عَنْ حُمْرَانَ بْنِ أَبَانَ قَالَ : رَاَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ تَوَضَّأَ فَاَفْرَغَ عَلَى يَدَ يْهِ ثَلاَثًا فَغَسَلَهُمَا ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَ يْهِ الْيُمْنَى اِلَى الْمَرَافِقِ ثَلاَثًا ثُمَّ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَالِكَ ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ غَسَلَ قَدَمَهُ الْيُمْنَى ثَلاَثًا ثُمَّ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَالِكَ. ثُمَّ قَالَ : رَاَ يْتُ رَسُوْلَ اللهِ e تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِيْ. ثُمَّ قَالَ : مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِيْ هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ نَفْسَهُ فِيْهِمَا بِشَيْءٍ غَفَرَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ {رواه النسائي}
Dari Humran bin Aban, ia telah berkata : Saya telah melihat Utsman bin ‘Affan ra. berwudu’ dengan cara menuangkan air kepada kedua tangannya sebanyak tiga kali, lalu ia membasuh kedua tangannya, berkumur, menghirup air dengan hidung, membasuh muka tiga kali, membasuh tangan kanannya hingga siku sebanyak tiga kali, kemudian membasuh tangan kirinya sebanyak tiga kali pula. Kemudian mengusap kepalanya, membasuh kakinya yang kanan tiga kali, dan terus membasuh kakinya yang kiri sebanyak tiga kali pula. Selanjutnya ia ( Utsman) berkata : Saya melihat Rasulullah saw. berwudu’ seperti wudu’ku. Kemudian ia berkata lagi : Barangsiapa berwudu’ seperti wudu’ku ini, lalu ia mengerjakan salat dua rakaat, yang di dalamnya tidak ada bisikan sesuatu dalam hatinya (khusyu’), maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu. (HR.An-Nasa’i)
عَنْ اَبِيْ حَيَّةَ قَالَ : رَاَيْتُ عَلِيًّا تَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ حَتَّى اَ نْقَهُمَا، ثُمَّ مَضْمَضَ ثَلاَثًا، وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا، وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا، وَذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّ ةً، ثُمَّ غَسَلَ قَدَمَيْهِ اِلَى الْكَعْبَيْنِ، ثُمَّ قَامَ فَأَخَذَ فَضْلَ طَهُوْرِهِ فَشَرِبَهُ وَهُوَ قَائِمٌ، ثُمَّ قَالَ : اَحْبَبْتُ اَنْ اُرِيْكُمْ كَيْفَ طُهُوْرِ رَسُوْلِ اللهِ e {رواه الترمذي : 48}
Dari Abi Hayyah, ia telah berkata : Saya melihat ‘Ali berwudu’, dia membasuh kedua telapak tangannya hingga bersih, lalu berkumur tiga kali, menghirup air dengan hidung tiga kali, membasuh muka tiga kali, membasuh kedua lengan tiga kali, mengusap kepala satu kali, kemudian membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki. Setelah itu, ‘Ali berdiri mengambil sisa air wudu’ yang digunakan bersuci, lalu meminumnya, sedang dia dalam keadaan berdiri, lalu berkata : Saya senang memperlihatkan kepada kalian, bagaimana cara Rasulullah saw. bersuci. (HR.Tirmidzi, hds : 48)
BERWUDU’ DENGAN AIR
عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ كُــنَّا مَعَ النَّبِيِّ e فَلَمْ يَجِدُوْا مَاءً فَاُوْتِيَ بِتَوْرٍ فَاَدْخَلَ يَدَهُ، فَلَقَدْ رَاَيْتُ الْمَاءَ مِنْ بَيْنِ اَصَابِعِهِ، وَيَقُوْلُ : حَيَّ عَلَى الطَّهُوْرِ وَالْبَرَكَةِ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ اْلأَعْمَشُ : فَحَدَّثَنِيْ سَالِمُ بْنُ اَبِيْ الْجَعْدِ قَالَ : قُلْتُ لِجَابِرٍ: كَمْ كُنْتُمْ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ : اَ لْفٌ وَخَمْسُمِائَةٍ {رواه النسائي}
Dari ‘Alqamah, ia menerima dari Abdillah, ia berkata : Kami bersama Nabi saw., pada waktu itu, mereka (para sahabat Nabi) tidak mendapatkan air, lalu sebuah bejana dibawa kehadapan Rasulullah, kemudian beliau memasukkan tangannya ke bejana itu. Maka sungguh aku melihat air memancar dari jari-jarinya, seraya beliau bersabda : Marilah bersuci dan mencari barakah dari Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung. Al-A’masy berkata : Salim bin Abi Al-Ja’di bercerita kepadaku, seraya ia berkata : Saya bertanya kepada Jabir : Berapa orangkah kalian pada waktu itu? Jabir menjawab : Ada seribu lima ratus orang. (HR.An-Nasa’i) [34]
JUMLAH BASUHAN
عَنِ ابْنِ عَبَاسٍ اَنَّ النَّبِيَّ e تَوَضَّأَ مَرَّ ةً مَرَّ ةً {رواه الترمذي : 42}
Dari Ibnu ‘Abbas : Bahwasanya Nabi saw. berwudu’ (dengan membasuh anggota wudu’nya) sebanyak satu kali-satu kali. (HR.Tirmidzi, hds : 42)
عَنْ اَبِيْ هُرَ يْرَةَ اَنَّ النَّبِيَّ e تَوَضَّأَ مَرّتَيْنِ مَرّتَيْنِ {رواه الترمذي : 43}
Dari Abu Hurairah : Bahwasanya Nabi saw. berwudu’ (dengan membasuh anggota wudu’nya) sebanyak dua kali-dua kali. (HR.Tirmidzi, hds : 43)
عَنْ عَلِيٍّ اَنَّ النَّبِيَّ e تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا {رواه الترمذي : 44}
Dari ‘Ali : Bahwasanya Nabi saw. berwudu’ (dengan membasuh anggota wudu’nya) sebanyak tiga kali-tiga kali.[35] (HR.Tirmidzi, hds : 44)
MENGUSAP KEPALA SATU KALI
عَنْ اَبِيْ اُمََامَةَ، اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ e قَالَ : "اَ ْلأُذُ نَانِ مِنَ الرَّأْسِ" وَكَانَ يَمْسَحُ رَأْسَهُ مَرَّ ةً، وَكَا نَ يَمْسَحُ الْمَــأْقَيْنِ. {رواه ابن ماجه : 444}
Dari Abi Umamah, bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda : “Dua telinga itu bagian dari kepala”. Beliau mengusap kepala satu kali. Dan beliau juga mengusap (membersihkan) kedua sudut matanya (yaitu kedua sudut mata dekat hidung). (HR.Ibnu Majah, hds : 444)
CARA MENGUSAP KEPALA
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ زَيْدٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ e مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدِهِ، فَاَقْبَلَ بِهِمَا وَاَدْ بَرَ : بَدَأَبِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِهِمَا اِلَى
قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا اِلَى الْمَكَانِ الَّذِيْ بَدَأَ مِنْهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ {رواه الترمذي:32}
Dari Abdullah bin Zaid, bahwasanya Rasulullah saw. telah mengusap kepalanya dengan kedua tangannya, mengarahkan kedua tangannya ke muka, lalu menggerakkannya ke belakang, yaitu : Beliau memulai mengusap kepala bagian muka, lalu menggerakkan kedua tangannya ke kepala bagian belakang (tengkuk), selanjutnya mengembalikannya ke tempat beliau memulai, kemudian membasuh kedua kakinya. (HR.Tirmidzi, hds : 32)
MENGUSAP SERBAN
عَنْ جَعْفَرِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ اَبِيْهِ قَالَ : رَاَيْتُ النَّبِيَّ e يَمْسَحُ عَلَى عِمَامَتِهِ وَ خُفَّيْهِ{رواه البخاري}
Dari Ja'far bin Amer dari ayahnya ia berkata : Saya pernah melihat Nabi saw, mengusap serbannya dan dua sepatunya. (HR.Bukhari) [36]
CARA MENGUSAP TELINGA
عَنْ ابْنِ عَبَاسٍ : اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ e مَسَـحَ اُذُ نَيْهِ دَاخِلَهُمَا بِالسَّبَّابَتَيْنِ، وَخَالَفَ اِبْهَامَيْهِ اِلَى ظَاهِرِ اُذُ نَيْهِ. فَمَسَحَ ظَاهِرَهُمَا وَبَاطِنَهُمَا {رواه ابن ماجه : 439}
Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah saw. mengusap kedua telinganya bagian dalam dengan jari telunjuk, dan meletakkan kedua ibu jarinya di belakang/luar kedua telinganya. Beliau mengusap kedua telinganya bagian luar dan dalam. (HR.Ibnu Majah, hds : 439)
MEMBASUH KEDUA KAKI
عَنْ اَبِيْ حَيَّةَ قَالَ : رَاَيْتُ عَلِيًّا تَوَضَّأَ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ اِلَى الْكَعْبَيْنِ، ثُمَّ قَالََ ثُمَّ قَالَ : اَرَدْتُ اَنْ اُرِيَكُمْ طُهُوْرَ نَبِيِّكُمْ e {رواه ابن ماجه : 456}
Dari Abi Hayyah, ia telah berkata : Saya melihat ‘Ali berwudu’, lalu ia membasuh kedua kakinya hingga kedua mata kaki. Kemudian ia berkata: Saya ingin memperlihatkan kepadamu, cara bersuci yang dilakukan Nabimu saw. (HR.Ibnu Majah, hds : 456)
TUMIT HARUS DIBASUH
عَنْ اَبِيْ هُرَ يْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ e قَالَ : وَ يْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ {رواه ابن ماجه : 453}
Dari Abu Hurairah, diterima dari Nabi saw., beliau telah bersabda : Siksa nerakalah bagi orang-orang yang tidak membasuh tumitnya. (HR.Ibnu Majah, hds : 453)
MEMBANTU MENUANGKAN AIR WUDU’
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الْمُغِيْرَةِ اَنَّهُ سَمِعَ اَبَاهُ يَقُوْلُ :سَكَبْتُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ e حِيْنَ تَوَضَّأَ فِيْ غَزْوَةِ تَبُوْكَ فَمَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ {رواه النسائي}
Dari ‘Urwah bin Mughirah, bahwasanya ia mendengar ayahnya berkata : Saya menuangkan (air wudu’) untuk Rasulullah ketika beliau berwudu’ dalam perang Tabuk, kemudian beliau mengusap dua sepatunya. (HR.An-Nasa’i) [37]
MENGUSAP SEPATU
عَنْ عُرْ وَ ةَ بْنِ الْمُغِيْرَةِ عَنْ اَبِيْهِ قَالَ : كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ e فِى سَفَرٍ فَاَهْوَ يْتُ ِلأَ نْزِعَ خُـفَّيْهِ فَقَالَ دَعْهُمَا فَاِنِّيْ اَدْخَلْـتُـهُمَا طَاهِرَ تَيْنِ فَمَسَح عَلَيْهِمَا {رواه البخاري}
Dari Urwah bin Al-Mughirah dari ayahnya ia berkata : Saya bersama Nabi saw, dalam suatu perjalanan, saya membungkuk hendak melepas kedua sepatunya, lalu beliau bersabda : Biarkanlah, jangan dilepas! Karena aku telah memasukkan kedua kaki dalam keadaan suci, kemudian beliau mengusap kedua sepatunya. (HR.Bukhari)[38]
عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ : رَاَيْتُ النَّبِيَّ e يَمْسَحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ عَلَى ظَاهِرِهِمَا{رواه الترمذي :98 }
Dari Mughirah bin Syu'bah ia berkata : Saya melihat Nabi saw, mengusap dua sepatu pada bagian yang kelihatan (bagian atas). (HR. Tirmidzi, hds : 98)
عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ : تَوَضَّأَ النَّبِيُّ e وَ مَسَحَ عَلَى الْجَوْرَ بَيْنِ وَالنَّعْلَيْنِ{رواه الترمذي :99 }
Dari Mughirah bin Syu'bah ia berkata : Rasulullah saw, berwudu' dan mengusap dua kaus kaki dan dua sepatu. (HR. Tirmidzi, hds : 99)
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ : لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ اَسْفَلَ الْخُفِّ اَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ اَعْلاَهُ، وَقَدْ رَاَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ e يَمْسَحُ عَلَى ظَهْرِ خُفَّيْهِ {رواه ابو داود :162}
Dari Ali ia berkata : Andaikata agama itu berdasarkan akal pikiran, tentu mengusap bagian bawah sepatu itu lebih pantas dari pada mengusap bagian atasnya. Sungguh aku pernah melihat Rasulullah saw, mengusap sepatu pada bagian punggung dua sepatunya. (HR. Abu Daud, hds : 162)
عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ e يَأْمُرُنَا اِذَا كُنَّا سَفْرًا اَنْ لاَ نَـنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاَثَةَ اَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ اِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ ، وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَ بَوْلٍ وَنَوْمٍ {رواه الترمذي : 96 }
Dari Shafwan bin 'Assal ia berkata : Rasulullah saw, memerintahkan kepada kita, apabila kita bepergian agar tidak melepas sepatu selama tiga hari tiga malam kecuali karena junub. Akan tetapi karenaa kencing, buang air besar dan tidur (tidak perlu melepas sepatu). (HR. Tirmidzi, hds : 96)
عَنْ خُزَ يْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ عَنِ النَّبِيِّ e قَالَ : اَ لْمَسْحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ لِلْمُسَافِرِ ثَلاَثَةُ اَيَّامٍ وَ لِلْمُقِيْمِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ {رواه ابو داود :157 }{
Dari Khuzaimah bin Tsabit dari Nabi saw, beliau bersabda : Mengusap dua sepatu bagi orang-orang yang bepergian masanya tiga hari tiga malam, dan bagi yang orang menetap (muqim) masanya sehari semalam. (HR. Abu Daud, hds :157)
MENYEMPURNAKAN BASUHAN ANGGOTA WUDU’
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ : اَنَّ رَجُلاً جَاءَ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ e وَقَدْ تَوَضَّأَ وَتَرَكَ عَلَى قَدَمِهِ مِثْلَ مَوْضِعِ الظُّفْرِ فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ e: اِرْجِعْ فَاَحْسِنْ وُضُوْءَكَ {رواه ابو داود : 173}
Dari Anas bin Malik : Bahwasanya ada seorang lelaki datang kepada Nabi, sedang dia telah berwudu’, dan ada yang tertinggal (tidak dibasuh) di kakinya seperti tempat letaknya kuku. Lalu Rasulullah saw. bersabda kepadanya : Kembalilah kamu, sempurnakanlah wudu’mu. (HR. Abu Daud, hds : 173)
NABI BERWUDUK SETIAP HENDAK SALAT
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَامِرٍ عَنْ اَ نَسٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ e يَتَوَضَّأُ عِنْدَ كُلِّ صَلاَ ةٍ، قُلْتُ : كَيْفَ كُنْتُمْ تَصْنَعُوْنَ؟ قَالَ : يُجْزِئُ اَحَدَنَا الْوُضُوْءُ مَالَمْ يُحْدِثْ {رواه البخاري}
Dari Amer bin Amir diterima dari Anas ia berkata : Nabi saw, berwuduk pada setiap hendak menegakkan salat. Saya (Amer bin Amir) bertanya (kepada Anas) : Bagaimanakah engkau berbuat? Ia (Anas) menjawab : Cukuplah satu kali wuduk buat kita selama belum hadas. (HR.Bukhari)[39]
عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ اَ نَسٍ اَنَّ النَّبِيَّ e كَانَ يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلاَ ةٍ ، طَاهِرًا اَوْ غَيْرَ طَاهِرٍ. قَالَ : قُلْتُ ِلأَ نَسٍ : فَكَيْفَ كُنْتُمْ تَصْنَعُوْنَ اَ نْتُمْ؟ قَالَ : كُنَّا نَتَوَضَّأُ وُضُوْءًا وَاحِدًا {رواه الترمذي : 58}
Dari Humaid diterima dari Anas : Bahwasanya Nabi saw, berwuduk untuk setip hendak menegakkan salat, baik dalam keadaan suci maupu tidak. Humaid berkata : Saya bertanya kepada Anas : Bagaimanakah kalian berbuat? Anas menjawab : Kami berwuduk dengan sekali wuduk. (HR. Tirmidzi : 58)
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَامِرٍ الأَ نْصَارِيِّ قَالَ : سَمِعْتُ اَ نَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُوْلُ : كَانَ النَّبِيُّ e يَتَوَضَّأُ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ، قُلْتُ : فَاَ نْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَصْنَعُوْنَ؟ قَالَ : كُنَّا نُصَلِّى الصَّلَوَاتِ كُلِّهَا بِوُضُوْءٍ وَاحِدٍ مَالَمْ نُحْدِثْ {رواه الترمذي : 58}
Dari Amer bin Amir Al-Anshari ia berkata : Saya mendengar Anas bin Malik berkata : Nabi saw, berwuduk pada setiap hendak menegakkan salat. Saya (Amer bin Amir) bertanya (kepada Anas) : Apakah yang kalian perbuat? Anas menjawan : Kami menegakkan salat dengan sekali wuduk untuk seluruh salat selama kami belum hadas.[40] (HR. Tirmidzi : 60)
RAGU-RAGU (HADAS ATAU TIDAK)
عَنْ اَبِيْ هُرَ يْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ e قَالَ : اِذَا كَانَ اَحَدُكُمْ فِِى الصَّلاَةِ فَوَجَدَ حَرَكَةً فِيْ دُبُرِهِ اَحْدَثَ اَوْ لَمْ يُحْدِثْ فَاُشْكِلَ عَلَيْهِ فَلاَ يَنْصَرِفْ حََتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا اَوْ وَجَدَ رِيْحًا {رواه ابو داود: 177}
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabda : Apabila salah seorang kamu berada dalam salat, lalu terasa ada gerakan pada duburnya, sehingga menjadi musykil (tidak jelas) baginya, sudah hadats[41] atau tidak, maka janganlah berpaling (meninggalkan salat) hingga mendengar suara atau mendapatkan (mencium) bau. (HR. Abu Daud, hds : 177)
MUKA BERCAHAYA SEBAB WUDU’
عَنْ نُعَيْمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اَنَّهُ رَاَى اَبَا هُرَ يْرَةَ يَتَوَضَّأُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَ يَدَ يْهِ حَتَّى كَادَ يَبْلُغُ الْمَنْكِبَيْنِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ حَتَّى رَفَعَ اِلَى السَّاقَيْنِ ثُمَّ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ e يَقُوْلُ : اِنَّ اُمَّتِيْ يَأْ تُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِيْنَ مِنْ اَثَرِ الْوُضُوْءِ فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ اَنْ يُطِيْلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ{رواه مسلم}
Dari Nu’im bin Abdillah, bahwasanya ia melihat Abu Hurairah berwudu’, dia membasuh muka dan kedua tangannya hingga hampir mencapai kedua bahunya, lalu membasuh kedua kakinya hingga naik ke atas sampai ke kedua betisnya, kemudian dia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda : Sesungguhnya umatku akan datang pada hari kiamat dengan muka putih bercahaya karena bekas wudu’; barangsiapa yang sanggup di antara kalian untuk memanjangkan kilauan cahaya di mukanya, laksanakanlah. (HR.Muslim)[42]
DOSA DIAMPUNI
عَنْ اَبِيْ هُرَ يْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ e قَالَ : اَلاَ اُخْبِرُكُمْ بِمَايَمْحُوْا اللهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ : اِسْبَاغُ الْوُضُوْءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا اِلَى الْمَسْجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ، فَذَالِكُمُ الرِّبَاطُ، فَذَالِكُمُ الرِّبَاطُ، فَذَالِكُمُ الرِّبَاطُ. {رواه النسائي}
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabda : Maukah aku ceritakan kepadamu sesuatu yang menyebabkan dosa-dosa itu diampuni dan derajat diangkat oleh Allah, yaitu : Menyempurnakan wudu’ dalam keadaan terpaksa/sulit, memperbanyak langkah menuju ke masjid dan menunggu datangnya waktu salat sesudah menjalankan salat; itulah siap siaga, itulah siap siaga, itulah siap siaga. (HR.An-Nasa’i) [43]
DOSA-DOSA KELUAR
عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ الصُّنَابِحِيِّ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ e قَالَ : اِذَاتَوَضَّأَ الْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ فَتَمَضْمَضَ خَرَجَتِ
الْخَطَايَا مِنْ فِيْهِ، فَاِذَا اسْتَنْثَرَ خَرَجَتِ الْخَطَايَا مِنْ اَنْفِهِ، فَاِذَا غَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَتِ الْخَطَايَا مِنْ وَجْهِهِ حَتَّى
تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ اَشْفَارِ عَيْنَيْهِ، فَاِذَا غَسَلَ يَدَ يْهِ خَرَجَتِ الْخَطَايَا مِنْ يَدَ يْهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ اَظْفَارِ يَدَ يْهِ، فَاِذَا مَسَحَ بِرَأْسِهِ خَرَجَتِ الْخَطَايَا مِنْ رَأْسِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ اُذُ نَيْهِ، فَاِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتِ الْخَطَايَا مِنْ رِجْلَيْهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ اَظْفَارِ رِجْلَيْهِ، ثُمَّ كَانَ مَشْيُهُ اِلَى الْمَسْجِدِ وَصَلاَتُهُ نَافِلَةً لَهُ {رواه النسائي}
Dari ‘Atha’ bin Yasar, diterima dari Abdullah Ash-Shunaabihy, bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabda : Apabila seorang hamba yang beriman berwudu’, lalu berkumur-kumur, maka keluarlah dosa-dosa itu dari mulutnya, apabila menyemperotkan air dari hidungnya, maka keluarlah dosa-dosa itu dari hidungnya, apabila membasuh mukanya, maka keluarlah dosa-dosa itu dari mukanya hingga dari bawah bulu-bulu kedua matanya, apabila membasuh kedua tangannya, maka keluarlah dosa-dosa itu dari kedua tangannya hingga dari bawah kuku-kuku kedua tangannya, apabila mengusap kepalanya, maka keluarlah dosa-dosa itu dari kepalanya hingga dari kedua telinganya, apabila membasuh kedua kakinya, maka keluarlah dosa-dosa itu dari kedua kakinya hingga dari bawah kuku-kuku kedua kakinya. Kemudian perjalanannya menuju masjid dan ibadah salatnya merupakan amal ibadah tambahan baginya. (HR.An-Nasa’i) [44]
DO’A SESUDAH WUDU’
عََنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ e: مَنْ تَوَضَّأَ فَاَحْسَنَ الْوُضُوْءَ ثُمَّ قَالَ : اَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَلَّلهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ، فُتِحَتْ لَهُ ثَمَانِيَةُ اَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَدْخُلُ مِنْ اَ يِّهَاشَاءَ {رواه الترمذي : 55}
Dari Umar bin Khattab ra. ia berkata : Rasulullah saw. telah bersabda : Barangsiapa berwudu’, lalu membaguskan wudu itu, kemudian berdo’a : “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang bertobat dan jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang suci”, maka baginya dibukakan delapan pintu surga dan diperkenankan masuk dari pintu manapun ia kehendaki. (HR. Tirmidzi, hds : 55)
AYAT AL-QUR'AN TENTANG WUDUK
{ المائدة :6} yang artinya sebagai berikut
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Maiah [5] : 6)[45]
[1]. Al-Iqna’, Muhammad Syarbini al-Khatib, juz 1, Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, Mesir, hal. 30
[2]. Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid, Sinar Baru, Bandung, 1998, hal 24
[3]. Abu Abdillah Muhammad bin isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah A-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, jilid 1, Dar Al-Fikr, Beirut, tanpa tahun, hal. 43
[4]. Abdurrahman bin Muhammad, Al-Fiqh ‘alaa Al-Madzaahib Al-Arba’ah, juz 1, Op cit, hal. 376-377
[5]. Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz 1, Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, Mesir, 1960 M / 1379 H, hal. 41
[6]. Ismail bin Katsir, Tafsir Ibnu Kasir, juz 4, Syirkah An-nur, Asia, tanpa tahun, hal. 298. Dan dalam buku 40 masalah-masalah agama oleh Sirajuddin Abbas, Pustaka tarbiyah, Jakarta, 1990, Jilid 2, hal. 86
[7]. Muhammad bin Ismail Ash-Shan’any, subululssalam, juz 1, Al-Baby Al-Halaby, Mesir, 1369 H, hal. 70
[8] Hadis Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan dengan banyak sanad (jalan), yang satu dengan yang lainnya dari sanad-sanad itu bertalian rawi-rawinya dan mustahil menurut adat mereka dapat berkumpul untuk berbuat dusta mengadakan hadis itu.
[9]. Abdurrahman bin Muhammad, Al-Fiqh ‘alaa Al-Madzaahib Al-Arba’ah, juz 1, Op cit hal.43-46
[10]. Ibid, hal. 43-44
[11]. Ibid, hal. 44
[12]. Ibid, hal. 44
[13]. Ibid, hal. 45
[14]. Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz 1, Op cit, hal. 41-42
[15]. Maksudnya : Anak-anak dari orang-orang yang merdeka yang bukan mahram, yang telah balig haruslah meminta izin lebih dahulu kalau hendak masuk rumah menurut cara orang-orang yang tersebut dalam ayat 27 dan 28 surat An-Nuur yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nur [24] :27-28)
[16]. Yakni : Mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai.
[17]. “gerakkanlah mereka” terjemahan dari kata “Wadhribuuhum” (وَاضْرِبُوْهُمْ) dan dapat juga diterjemahkan dengan “pukullah mereka”, dan arti lain adalah membuat, menjadikan, mencetak, menentukan dan menegakkan.
[18]. Al-Fakhrurrazi, Tafsir Al-Kabir, jilid 8, Dar Ihya At-turats Al-Arabi, Beirut, Lebanon, 2001, hal. 416
[19]. Ibid, hal. 418
[20]. Abi Bakr Ahmad bin Al-Husain bin Ali Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, juz 1, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon, 1999-1420, hal. 476
[21]. Ibid, jilid 3, hal.117
[22]. Abdurrahman bin Muhammad, Al-Fiqh ‘alaa Al-Madzaahib Al-Arba’ah, juz 1, Op cit hal. 45-46
[23]. Ibid, hal. 46
[24]. Ibid, hal. 46
[25]. Ibid, hal. 46
[26]. Al-Iqna’, Muhammad Syarbini al-Khatib, juz 1, Op cit, hal. 97-98
[27]. Abdurrahman bin Muhammad, Al-Fiqh ‘alaa Al-Madzaahib Al-Arba’ah, juz 1, Op cit hal. 48
[28].Ibid, hal. 48
[29]. Ibid, hal. 48
[30]. Ibid, hal. 45-48
[31]. Niat adalah menyengaja mengerjakan sesuatu perbuatan. Niat dalam wadu' dan salat, termasuk fardu (rukun), dan disebut "Rukun qalbi", karena tempatnya di dalam hati.
[32]. Sunan An-Nasa-‘i, jilid 1, Op cit, hal. 58-60
[33]. Memurnikan ketaatan kepada-Nya maksudnya adalah niat dengan ikhlas semata-mata karena Allah dalam menjalankan agama yang lurus. Agama yang lurus yaitu agama yang jauh dari syirik jali (jelas) seperti mempersekutukan Allah, jauh dari syirik khafi (samar) seperti hilangnya ikhlas atau datangnya riya', dan jauh pula dari kesesatan.
[34]. Ibid, hal. 60-61
[35]. Komentar Imam Tirmidzi : Berwudu’ itu cukup dengan satu kali basuhan, dua kali basuhan lebih utama, dan yang paling utama adalah tiga kali basuhan. Dan setelah itu tidak ada lagi basuhan apapun.
و العمل على هذا عند عامّةِ اهل العلم : اَنَّ الْوَضُوْءَ يُجْزِئُ مَرَّ ةً، وَمَرَّتَيْنِ اَفْضَلُ، وَاَفْضَلُهُ ثَلاَثٌ، وَ لَيْسَ بَعْدَهُ شَيْءٌ {الجامع الصحيح وهو سنن الترمذي جلد 1 - رقم الحديث : 42/43/44- صحيفة : 64}
[36]. Shahih Al-Bukhari, jilid 1, Op cit, hal. 59
[37]. Ibid, hal. 62
[38]. Shahih Bukhari, jilid 1, Op cit, hal. 59
[39]. Shahih Bukhari, jilid 1, Op cit, hal. 60
[40]. Menurut pendapat sebagian ulama' : Berwuduk untuk setiap hendak menegakkan salat termasuk sunnah bukan wajib. Pendapat ini senada dengan sabda Nabi : Barangsiapa berwuduk dalam keadaan masih suci, Allah akan memberikan sepuluh kebaikan kepadanya. (HR. Tirmidzi : 59)
وقد كان بعضُ اهلِ العلم يرى الوضوءَ لكلِّ صلاةٍ استحبابًا لا على الوجوبِ. عن ا بن عمر عن النبي e انه قال : من توضأ على طُهرٍ كتب الله له به عَشْرَ حسناتٍ. [هذا اسنادٌ ضعيفٌ] {رواه الترمذي : 59}{الجامع الصحيح وهو سنن الترمذي جلد 1 - رقم الحديث : 59- صحيفة : 87}
[41]. Hadats menurut bahasa adalah kejadian, peristiwa atau kasus. Menurut istilah adalah keluarnya sesuatu dari dubur (lubang belakang dekat pantat) atau qubul (lubang depan/kemaluan), seperti keluar angin, air besar atau kecil.
[42]. Imam Muslim, Shahih Muslim, jilid 1, Sulaiman Mara’I, Pinang Singapura, tanpa tahun, hal. 122.
[43]. Sunan An-Nasa-‘i, jilid 1, Op cit, hal. 89-90
[44]. Ibid, hal. 74-75
[45]. Berdasarkan ayat 6 surat Al-Maidah, maka fardu wuduk yang wajib bagi orang yang berwuduk adalah, 1. membasuh muka, 2. membasuh kedua tangan sampai kedua siku, 3. mengusap kepala, 4. membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki. Ini dilakukan dengan tertib atau berurutan, serta di dahului dengan niat.
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
0 komentar:
Posting Komentar